Mau Ke Mana?

“Ke mana…ke mana…ke manaa…” Kok jadi nyanyi lagu dangdut? Sebentar, ini mau membahas rambu – rambu penunjuk jalan. Sekarang, tak usah khawatir tersesat bila kita dalam perjalanan jauh. Di setiap tempat, sudah ada papan penunjuk jalan, bahkan di tempat paling tersembunyi sekalipun. Ini sangat membantu, terutama di saat liburan, atau saat mudik lebaran yang macetnya tak tertahankan. Seperti di sudut – sudut wilayah Yogyakarta ini:

Image

Papan rambu – rambu penunjuk jalan di perempatan Kenteng, Nanggulan, Kulon Progo.

Diambil dari arah selatan. Ini bisa jadi jalan alternatif bagi mereka dari Wates yang hendak ke arah Yogyakarta. Foto tanggal 28 Mei 2012, jam 17:00

Image

Foto di jalan sekitar Goa Kiskendha, Kulon Progo. Diambil tanggal 29 Mei 2012, pukul 6:30 WIB. Jalan ini menjadi jalan alternatif bagi orang – orang Kulon Progo sebelah utara yang hendak ke Wates atau ke Purworejo.

Image

Masih di jalan sekitar Goa Kiskendha, tanggal 29 Mei 2012. Papan penunjuk arah di sekitar tempat ini cukup jelas. Jadi tidak ada kata tersesat bagi mereka yang membacanya dengan teliti. Orang – orang sekitar Samigaluh dan Girimulyo yang sering ke Purworejo, pasti sering lewat jalan ini.

Image

The way to back home. Dari arah Purworejo, jika hendak menuju ke Girimulyo atau Samigaluh, tinggal lihat papan ini saja, dan ikuti arahnya. Kalau capek, bisa cuci mata di Goa Kiskendha dulu… 🙂 :P.
 Foto tanggal 29 Mei 2012, pukul 7:45 WIB.

Image

Jalan alternatif menuju ke Sentolo dan Wates. Foto di sekitar Galur, Kulon Progo, tanggal 30 Mei 2012, pukul 7:34 WIB. Jalan ini sering juga menjadi jalur alternatif bagi orang – orang yang bertujuan ke Bandung dan Jakarta lho…

Nah, cukup jelas kan? Pokoknya tidak ada kata tersesat selama kita mau memperhatikan rambu penunjuk jalan saat kita bepergian ke mana saja. Sekali lagi, penulis benar – benar masih newbie, jadi mohon kritik dan sarannya juga ya…

Jogja di Musim Kemarau

Musim kemarau di bulan September hingga awal Oktober terasa begitu menyengat. Matahari seperti berada tepat di atas kepala. Walau di musim kemarau, Jogja tidak kehilangan keindahannya, seperti di wilayah Jogja selatan ini:

Image

Sungai Progo, dari atas Jembatan Srandakan, tanggal 4 Oktober 2012. Dasar sungai yang berlumpur dan berpasir bisa terlihat dengan jelas di beberapa tempat, seperti “pulau.”

Di perbatasan Kulon Progo dan Bantul ini, air bukan menjadi masalah di musim kemarau. Para petani masih dapat menanam tanaman apapun, bahkan menanam padi. Tapi, di musim kemarau seperti sekarang, para petani harus benar – benar memperhatikan tanamannya agar jangan sampai layu dan merana.

Image

Petani di jalan menuju pantai Trisik yang sedang bekerja di sawahnya. Kemarau yang panas tidak menyurutkan semangat bapak ini untuk terus bekerja. foto tanggal 4 Oktober 2012.

Image

Saluran air yang memberi penghidupan bagi petani di sekitar wilayah Galur, Kulon Progo. Foto tanggal 4 Oktober 2012.

Musim kemarau tahun ini yang sangat panas, membuat semua orang ingin segera menyelesaikan apa yang mereka kerjakan agar dapat segera beristirahat di rumah, menyimpan tenaga untuk menjalani hari esok yang lebih baik. Seperti teman – teman yang baru saja pulang dari sekolah ini.

Image

Mengayuh sepeda bersama – sama pulang ke rumah. Ingin segera bertemu dengan ayah, bunda, dan adik – adik tercinta, serta melepas lelah di rumah.

Begitulah suasana Jogja bagian selatan di musim kemarau. Para warga masih tampak menjalankan aktivitas sehari – hari dengan penuh semangat, tanpa keluhan sedikitpun. Bagi pembaca sekalian, ditunggu kritik dan saran, serta caci makinya, ya… 🙂

Rindu Akan Hujan

Terhitung sejak bulan Juni (atau malah Juli?), hingga September, hujan tidak turun lama sekali. Udara terasa panas, bahkan melebihi oven! (lebay dikit boleh ya). Di media – media sosial, terutama di twitter, sudah banyak yang merindukan turunnya hujan, karena di balik derasnya hujan yang turun, tersimpan banyak kenangan (kata yang nulis di twitter). Di daerah – daerah yang sebagian besar penduduknya petani, hujan menjadi hal yang sangat dinantikan, karena para petani ingin segera menyemaikan benih dan menanamnya di sawah/ladang mereka.

Segala macam ritual untuk meminta hujan pun sudah banyak dilakukan, seperti shalat Istisqa’ (bagi umat Muslim), dan upacara sesaji bagi penganut aliran kejawen. Tapi tetap saja, hujan belum mau turun. Meskipun demikian, kita jangan terus berputus asa untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan tentu punya rencana lain dengan menunda turunnya hujan. Apa itu? Tak ada seorangpun yang tahu.

Alhamdulillah, di bulan Oktober ini hujan sudah mulai turun. walau tidak merata, dan intensitas hujan yang masih kurang. Walaupun demikian, diharapkan dengan hujan yang sudah turun ini bisa mengurangi rasa gerah yang mendera selama berbulan – bulan.

Langsung banyak yang bersorak di mana – mana saat hujan pertama. Semoga di bulan – bulan berikutnya intensitas hujan semakin bertambah, tentunya hujan yang membawa berkah, bukan hujan yang membawa musibah. Amin…

Backpacker Never Dies! (Part I: Touring Yogya – Madiun – Ponorogo PP)

Assalamu’alaikum…

Salam backpacker, salam bismania, dan salam sejahtera untuk semuanya.

Langsung saja ya, touring singkat ini berawal dari keinginan penulis untuk melepas segala penat yang ada di pikiran. Kebetuan di hari Selasa (10 Oktober 2012), penulis punya waktu yang cukup longgar untuk melepas penat, dan akhirnya, penulis merencanakan untuk pergi ke Ponorogo. Buat apa? Ya buat sekedar turing – lah! Dunia kan tidak hanya selebar daun kelor dan tidak pula hanya seluas halaman rumah atau kamar tidur kita, ya kan?

Begitu adzan Subuh berkumandang, penulis pun langsung mandi, tak lupa sarapan dan shalat Subuh, kemudian berjalan kaki menuju ke shelter Trans Jogja jalan Colombo.

Ini dia suasana di sekitar shelter jalan Colombo pagi itu.

Image

Masih sepi memang, dan shelter Trans Jogja pun belum buka. Okelah, tunggu dulu. Sebentar kemudian ada petugas yang sudah datang, langsung bayar tiga ribu rupiah untuk naik 1B ke Janti Selatan, lalu transit 3B ke Terminal Giwangan. Tepat pukul setengah enam, jalur 1B pun datang.

Suasana di dalam bus jalur 1B pagi itu

Image

Penumpang masih sepi, namun pak sopir sudah bersemangat untuk mengejar matahari, mencari rezeki bagi keluarga tercinta di rumah, dan yang paling penting, mengantar penumpang sampai tujuan. Sampai di shelter Janti Selatan, penulis pun pindah ke jalur 3B. Turun di Giwangan jam setengah tujuh pagi, dan langsung menuju parkiran bus tujuan Surabaya – Jogja. Di sana sudah disambut dua armada MIRA yang hendak ke Surabaya.

Ini dia bus yang mengantarkan penulis ke Madiun. Maaf, penulis tidak sempat memotret bodinya secara utuh.

Image

Bus ini bermesin Hino AK8 A215, dengan bodi Inspiro, produksi karoseri Tentrem, Malang. Tadinya TV menggunakan TV tabung, tapi kemudian diganti TV LCD, namun sayang tape – nya rusak. Ya sudahlah, desing turbo AK8 kan lumayan merdu dan juga bisa jadi hiburan. Kan asyik. Hahaha..

Ini dia pengemudi bus yang penulis tumpangi. Buat teman – teman yang sering naik MIRA, ada yang kenal pak/mas sopir ini? Walaupun kencang, tapi mengemudinya halus dan nyaman sekali (walaupun saat memindahkan gigi persneling agak dihentak).

Image

Bus ini seperti lazimnya bus – bus Jawa Timur lainnya, kencang. Tapi bus yang penulis tumpangi jalannya kalem – kalem saja. Tidak mendahului ataupun didahului oleh bus lain yang trayeknya sama, siapa lagi kalau bukan Selamat Group (Sumber Selamat dan Sugeng Rahayu). Dari Giwangan jam 7:15, sampai terminal Tirtonadi Solo jam 7:50. Lumayan cepat, walaupun lalu lintas pagi hari sangat padat.

Sedikit gambar di terminal Tirtonadi

Image

EKA CEPAT (Surabaya – Magelang) dan Sugeng Rahayu bumel (Surabaya – Wonogiri).

Image

Dahlia Indah tujuan Purwokerto. Maaf kurang jelas gambarnya.

Image

Sugeng Rahayu tujuan Surabaya – Jogja. Maaf hanya sebagian mukanya saja.

Keluar dari Tirtonadi, perjalanan pun dilanjutkan tepat pukul 9:30. Pak sopir mulai berani tancap gas. Di Ngawi, pak sopir pun mulai mengasapi Sugeng Rahayu Surabaya – Wonogiri yang sudah berangkat lebih dulu. Akhirnya, sampai Madiun jam 11. Di terminal, penulis turun, dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pak sopir dan asistennya.

Bokong seksi MIRA di Madiun.

Image

Setelah lepas dari pelukan mbak MIRA (maaf ya teman – teman MIRA mania), penulis pun langsung mencari bus tujuan Ponorogo. Di situ ada bus Cendana ¾  yang sedang parkir. Awalnya penulis berpikir untuk naik Restu atau Akas Green, tapi bus – bus besar dari arah Surabaya menuju Ponorogo biasanya hanya numpang lewat di terminal Madiun tanpa menaikkan penumpang. Ya sudahlah, naik Cendana saja.

Sedikit foto di dalam bus Cendana Âľ:

Image

Di sepanjang perjalanan dari Madiun ke Ponorogo, banyak pemandangan. Tapi sayang karena udara yang panas, penulis tidak sempat mengambil gambar satu pun dari dalam bus yang penulis tumpangi. Siang itu, sudah banyak bus malam dari arah Ponorogo menuju Jakarta, seperti Kramat Djati, Rosalia Indah, Pahala Kencana, Gunung Harta, Harapan Jaya, dan Shantika.

Harapan Jaya di agen pasar Dolopo

Image

Maaf gambarnya terpotong.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya penulis pun mendarat di terminal Seloaji Ponorogo. Langsung shalat Dzuhur begitu turun dari bus, kemudian naik bus Restu untuk kembali ke Madiun.

Ruang kemudi bus Restu

Image

Kabin penumpang bus Restu, didominasi warna hijau

Image

Seperti MIRA yang dinaiki penulis waktu berangkat dari Jogja, bus Restu juga menggunakan sasis Hino AK8 A215. Perbedaannya hanya pada bodi. MIRA menggunakan bodi Inspiro buatan karoseri Tentrem, sedangkan Restu menggunakan bodi New Marcopolo HD buatan Adiputro. Pakai TV LCD, tapi ah, sayang, lagi – lagi tape – nya rusak. Tapi beruntung penulis ada teman ngobrol yang mau pergi ke Surabaya. Lumayanlah kalau ada teman ngobrolnya.

Bus pun berangkat dari terminal Seloaji, Ponorogo. Bus ini lumayan cepat, dan tanpa terasa, sudah sampai di Madiun.

Menguntit bus Cendana Âľ saat meninggalkan terminal Seloaji, Ponorogo.

Image

Pemandangan di sekitar jalan menuju Madiun

Image

Pertigaan jalan lingkar Madiun, tempat bus biasa menaik turunkan penumpang (bukan tempat ngetem lho, soalnya bus Surabayaan haram ngetem, hahahaa, peace :))

Image

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya bus menuju Jogja pun muncul. Siapa lagi kalau bukan MIRA, hahahaa. Perlu digarisbawahi, penulis bukan fans fanatik perusahaan otobus tertentu, tapi siapa yang duluan datang, ya itulah yang dinaiki.

Bus yang membawa penulis pulang ke Jogja.

Image

Bus ini menggunakan bodi Inspiro produksi karoseri Tentrem, sama seperti yang penulis tumpangi waktu berangkat dari Jogja. Walau TV – nya masih pakai TV kotak, tapi sistem audionya masih berfungsi. Di Sragen, kenek bus menyetel mp3 lagu – lagu lama untuk menghibur penumpang selama di perjalanan. Lumayanlah.

Perjalanan dari Madiun lancar – lancar saja, tidak ada hambatan. Begitu sampai Sragen, mulai terjebak kemacetan karena bertepatan dengan jam pulang kerja karyawan – karyawan pabrik mulai dari sekitar Masaran, Sragen, Palur, hingga Kebakkramat. Alhasil, sampai Terminal Tirtonadi sekitar pukul setengah enam sore.

Pemandangan kota Solo di senja hari.

Image

Saat memotret gambar ini, kenek bus bilang, “Wah, foto – foto nih…” “Iya, pak”, jawab penulis. Setelah itu penulis mulai sedikit mengobrol, menanyakan sopir – sopir jagoan MIRA yang banyak yang sudah keluar, seperti cak Edy, mas Robby Hermawan, mas Adji Ambulance, pak Tadjuddin, cak Heri Mandra, dan cak Anshori. Ada yang sudah pindah ke perusahaan bus lain seperti pak Tadjuddin dan mas Adji, dan sisanya pak sopir kurang tahu. Oh ya, sopir dan kenek bus MIRA yang penulis tumpangi saat pulang ini ramah dan suka bercanda. Pokoknya asyik deh…

Sore itu, keluar dari Tirtonadi langsung disambut kemacetan panjang mulai dari depan Universitas Muhammadiyah Surakarta hingga pasar Kartosuro.

Image

Walaupun macet, tidak ada alasan untuk bête, karena di perjalanan pak sopir dan asistennya menyetel lagu – lagu lama, mulai dari lagunya Ratih Purwasih, alm. Broery Marantika, Dewi Yull, Obbie Messakh, bahkan Paramitha Rusady.

Lepas Kartosuro, jalan mulai agak sepi, dan pak sopir pun mulai tancap gas. Banyak penumpang yang sudah mulai turun, sampai di Jogja, hanya tersisa 4 penumpang, termasuk penulis. Penulis pun turun di shelter Trans Jogja Blok O (depan Rumah Sakit TNI Angkatan Udara). Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pak sopir dan asistennya, sambil melambaikan tangan, dan dibalas dengan klakson khas bus MIRA.

Langsung penulis masuk ke shelter, kembali ke tempat kost naik bus Trans Jogja jalur 1B. Sama seperti MIRA yang penulis naiki, pak sopir bus Trans Jogja ini juga menyetel mp3 lagu – lagu lama, yaitu lagu – lagunya Koes Plus. Lumayanlah untuk hiburan di tengah padatnya lalu lintas kota Jogja di waktu malam.

Image

Suasana lalu lintas kota Jogja yang cukup padat di malam hari.

Image

Penumpang Trans Jogja. Penuh sesak.

Image

Sampai di shelter UNY jalan Colombo, penulis pun turun. Tak lupa lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada pak sopir dan asistennya. Touring pun berakhir.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada:

  • Allah SWT.
  • Crew bus MIRA S 7226 US.
  • Crew bus Cendana Âľ.
  • Crew bus Restu jurusan Ponorogo – Surabaya.
  • Crew bus MIRA S 7213 US (terima kasih banget ya pak… :))
  • Crew bus Trans Jogja 1B nomor 13.
  • Teman – teman yang sudah meluangkan waktu membaca report ini.

Perincian biaya:

  • MIRA Jogja – Madiun Rp 18. 000, 00 (pakai kartu langganan). Karena PP, jadinya Rp 36.000, 00.
  • Cendana Madiun – Ponorogo Rp 7.000, 00.
  • Restu panda Ponorogo – Madiun Rp 4. 000, 00.
  • Trans Jogja Rp 3. 000, 00. Pulang pergi, jadinya Rp 6. 000, 00.

Total biaya : Rp 53. 000, 00.

Terima kasih. Salam Backpacker, salam Bismania!